Senin, 23 Juli 2012

CO2 Bisa Dimanfaatkan untuk Produksi Biofuel

Pencarian terhadap sumber energi terbarukan terus dilakukan oleh berbagai negara di seluruh penjuru dunia. Dari sejumlah negara yang serius melakukan riset terkait energi ramah lingkungan, Brasil merupakan salah satu negara yang paling siap menghadirkan solusi energi jangka panjang.
Bekerja sama dengan SAT, sebuah perusahaan asal Austria, pada tahun 2013 mendatang, Brasil berencana membangun sebuah pabrik industri biofuel pertama di dunia yang menggunakan bahan baku rumput laut. Menurut juru bicara proyek, pembangunan pabrik biofuel itu akan dilakukan di Pernambuco, yang terletak di timur laut Brasil.

“Pabrik itu akan dibangun di kawasan perkebunan tebu yang menghasilkan etanol,” kata Rafael Bianchini, kepala cabang SAT Brasil. “Targetnya, pabrik ini akan menghasilkan 1,2 juta liter biofuel berbasis ganggang per tahunnya,” ucapnya.
Pabrik senilai Rp92 miliar itu akan memanfaatkan karbon dioksida (CO2), yang merupakan limbah dari pembuatan etanol, untuk mempercepat proses fotosintesis pada rumput laut. Sehingga, Bianchini menyatakan, pemanfaatan CO2 ini akan mampu mereduksi emisi gas buang yang dilepaskan ke lingkungan sekitar.
“Tujuan kami adalah mengonversikan CO2 dari kondisi pasif menjadi aktif, memanfaatkan emisi CO2 yang banyak tersedia saat memproduksi ethanol dari tebu,” ucap Bianchini. “Untuk setiap liter ethanol yang diproduksi, satu kilogram CO2 dilepaskan ke atmosfir. Kita akan menggunakan CO2 ini untuk bahan baku pabrik kami,” ucapnya.
Pada awalnya, fasilitas pembuatan biofuel berbasis alga itu hanya akan menggunakan lima persen emisi dari proses pembuatan ethanol saja. Namun, Bianchini menyebutkan, proporsinya kemudian ditambah.
Sayangnya, rencana proyek pembanguan pabrik biofuel berbasis rumput laut tersebut belum mendapatkan persetujuan dari National Petroleum Agency Brasil. Negara itu sendiri merupakan produsen biofuel terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat.
(Abiyu Pradipa. Sumber: Phys.Org)

Lidah Mertua, Solusi Minimalisir Bahaya Asap Rokok


Banyak orang mengenal lidah mertua atau sansevieria sebagai tanaman hias. Ternyata di balik keindahannya, tanaman ini mampu mengurangi pencemaran udara.
Di kota-kota besar, kontribusi gas buang kendaraan bermotor sebagai sumber polusi udara mencapai 60-70 persen. Sementara itu, kontribusi gas buang dari cerobong asap industri hanya berkisar 10-15 persen. Sisanya berasal dari sumber pembakaran lain, misalnya dari pembakaran sampah dan hutan.
Sebagai penyumbang polusi terbesar, gas buang kendaraan bermotor pun mengeluarkan gas berbahaya, salah satunya adalah timbal (Pb2). Timbal memiliki dampak buruk terhadap kesehatan, di antaranya merusak jaringan saraf dan fungsi ginjal, keguguran, penurunan kecerdasan, hipertensi, anemia, serta kanker. 
Titik Susilowaty, Pencetus Gerakan Kampung Bebas Rokok di Kota Yogyakarta mengatakan, bahwa tumbuhan lidah mertua memang berpotensi untuk mengurangi pencemaran udara. Malahan, ia pun menyarankan setiap rumah di kampungnya untuk menanam lidah mertua di depan rumah.
"Selain sebagai tanaman hias, lidah mertua sangat berguna untuk kesehatan tubuh manusia. Bahaya asap rokok dan kendaraan bisa terminimalisir dengan tumbuhan ini," ungkapnya.
Keprihatinan akan bahaya timbal akhirnya merangsang kreativitas lima mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) mengoptimalkan penggunaan tanaman lidah mertua. Lewat penelitian uji laboratoriumnnya, Angga Adi Surya Pratama, Sukci Winanti, Yusron Mubarok, Milatul Cholifah, dan Deeska Noto Nagoro mengubah lidah mertua menjadi arang (karbon aktif) dengan variasi konsentrasi Natrium Biphospat.
"Tanaman lidah mertua ini belum banyak dimanfaatkan. Penelitian tentang tanaman ini pun masih minim, di mana sebelumnya lidah mertua digunakan untuk pencegahan asap rokok," papar Sukci di Yogyakarta, Senin (23/7).
Ia menjelaskan sansevieria banyak mengandung unsur C (Kalsium), N (Nitrogen) dan O (Oksigen) dengan kandungan air yang sedikit. Tanaman ini memiliki banyak kelebihan antara lain sangat resisten terhadap polutan, dan mampu menyerap 107 jenis polutan di daerah padat lalu lintas dan ruangan yang penuh asap rokok.
Selain itu sansevieria ini merupakan bahan yang berasal dari alam dan ketika dia kembali ke alam tidak akan mencemari lingkungan.
Dalam penelitiannya, mereka menjadikan lidah mertua menjadi karbon aktif atau adsorben dan dipasang dalam knalpot sepeda motor. Dari hasil penelitian yang diujicobakan dalam mesin sepeda motor 2 tak dan 4 tak, dengan konsentrasi 30 persen, timbal yang terserap mencapai 17,005 mg/kg.
"Tumbuhan ini sangat efektif untuk mengurangi pencemaran udara dan menyerap timbal. Bila setiap kendaraan bermotor dipasang arang aktif dari tumbuhan ini, lingkungan pun akan aman dan bersih," ungkapnya. (Olivia Lewi Pramesti)

Jumat, 20 Juli 2012

Pemanasan Global Ancam Keberlangsungan Spesies di Kalimantan

Suhu yang menghangat di Samudera Hindia dan tingginya frekuensi El Nino menyebabkan kondisi kering di hutan Kalimantan. Ini menyebabkan beberapa spesies terancam keberlangsungan hidupnya karena sulit beradaptasi dengan panasnya Bumi.
Menurut hasil penelitian yang diterbitkan Journal of Geophysical Research-Biogeosciences, deforestasi menyebabkan hutan Kalimantan sudah terlalu rusak. Masa depan hutan ini sekarang mulai meredup.
"Bahkan spesies pohon yang bisa beradaptasi dengan cuaca kering masih berisiko punah," demikian pernyataan yang dirilis American Geophysical Union (AGU), Rabu (18/7). "Sebagian kecil spesies yang tidak bisa beradaptasi, berada dalam risiko terancam punah lebih besar."
Hasil ini tidaklah mengejutkan karena pernah terjadi di Hutan Amazon, Amerika Selatan. Ada spesies yang sulit beradaptasi dengan kekeringan dan kebakaran hutan.
Dikatakan Ismayadi Samsoedin dari Badan Litbang Kementerian Kehutanan, memang ada beberapa spesies yang kini masuk endangered di Kalimantan. "Anggrek hitam (Coelogyne pandurata) yang dulu terkenal di Kalimantan Timur kini jadi berkurang populasinya karena perubahan iklim," katanya saat berbincang dengan National Geographic Indonesia, Kamis (19/7).
anggrek,bunga,budidayaAnggrek hitam (Coelogyne pandurata) (thinkstockphoto)
Anggrek ini hanya tumbuh di Pulau Kalimantan dan menjadi maskot Provinsi Kaltim. Meski masih bisa ditemukan di cagar alam Kersik Luway, jumlahnya dalam tahap yang memprihatinkan.
Kayu ulin atau kayu besi (Eusideroxylon zwageri) juga masuk dalam spesies yang nyaris musnah. Kelangkaan kayu ini bahkan lebih terasa karena mengandung nilai ekonomi tinggi. "Buah-buahan liar seperti rambutan, durian, dan menteng hutan, juga terancam populasinya karena proses pengambilan yang kurang baik dari warga sekitar," tambah Ismayadi.
Sayangnya dengan kondisi semacam ini, Kemenhut sulit menerapkan kebijakan sebagai bentuk pencegahan perusakan lebih lanjut. Sejak otonomi daerah diterapkan sepuluh tahun lalu, Kemenhut hanya bisa memberi saran atau masukan.
Jika pun ada Keputusan Menteri (Kepmen), belum ada yang sifatnya nyata untuk konservasi tumbuhan yang belum dikenal. Malah, saat ini lebih subur pembangunan tambang batu bara, penebangan hutan untuk kelapa sawit, dan perkebunan karet.
"Hingga saat ini belum ada Kepmen yang bisa menjaga hutan Kalimantan dengan baik," ujar Ismayadi.(Zika Zakiya)

Manfaat Tanaman Hijau 8 Kali Lebih Besar Dari Perkiraan

Ada kabar gembira datang dari laporan yang diterbitkan di jurnal Environmental Science & Technology terbitan American Chemical Society. Ternyata, pepohonan, semak-semak, dan tumbuhan lain yang tumbuh di hutan-hutan beton dan kaca di kota-kota besar mampu mereduksi kadar dua polutan udara yang paling berbahaya hingga delapan kali lipat dibandingkan dengan yang diperkirakan sebelumnya.
Dalam laporannya, sekelompok tim peneliti yang diketuai oleh Thomas Pugh memaparkan, konsentrasi nitrogen dioksida (NO3) dan particulate matter (PM) berukuran mikroskopik, yang keduanya sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, telah melampaui batas aman di jalan-jalan di sejumlah kota besar.
Sebelum ini, penelitian yang dilakukan mengindikasikan bahwa pepohonan dan tanaman hijau lainnya bisa meningkatkan kualitas udara di kawasan perkotaan dengan menghilangkan polutan tersebut dari udara. Namun, peningkatan kualitas udara diprediksi cukup kecil, hanya mampu mereduksi kedua polutan itu sebanyak hanya kurang dari lima persen.
Namun, menggunakan metode penelitian yang baru, para peneliti berhasil memahami lebih baik efek yang dihasilkan oleh tanaman hijau pada udara yang kadang stagnan di jalan-jalan kota besar, yang mereka sebut dengan istilah urban canyon.
“Dari penelitian, diketahui bahwa menempatkan rumput, tanaman merambat, dan pepohonan lain di urban canyon mampu mereduksi konsentrasi NO2 di jalanan hingga 40 persen dan konsentrasi PM bisa turun hingga 60 persen,” kata Pugh. “Angka ini jauh lebih besar dibandingkan yang kita ketahui sebelumnya,” ucapnya.
Dalam laporannya, para peneliti juga menyarankan agar kita membangun billboard'ramah lingkungan’ yang diselimuti oleh tanaman di kawasan hutan-hutan beton tersebut untuk meningkatkan jumlah dedaunan di sana.
“Pepohonan juga terbukti efektif dalam mengatasi kedua polutan berbahaya tersebut,” kata Pugh. “Namun syaratnya, pepohonan tersebut perlu dirawat untuk menghindari adanya polutan yang terjebak di dedaunan, dahan dan ranting pohon-pohon tersebut,” ucapnya.
Konsentrasi nitrogen dioksida (NO2 ) dan particulate matter (PM) di jalan-jalan sejumlah kota besar telah melampaui batas standar kesehatan. Kondisi tersebut mengakibatkan meningkatnya kematian dan morbiditas.
Konsentrasi kedua polutan tersebut bisa dikurangi dengan tiga cara yakni mengontrol emisi gas buang, meningkatkan pergerakan atau dispersi polutan, atau menaikkan tingkat deposisi, seperti memanfaatkan tanaman hijau. Sayangnya, hanya sedikit perhatian yang diberikan terhadap metode ketiga sebagai metode pengontrolan polusi.
(Abiyu Pradipa. Sumber: Phys.Org)

Riset Potensi Mikroalga untuk Bioetanol

Penelitian mikroalga sebagai bahan baku bagi sumber energi penting pada masa depan terus dikembangkan menjadi bahan baku biofuel berupa bioetanol. Tidak hanya produksi biodiesel yang selama ini banyak dikerjakan.
Mikroalga amat potensial karena mengandung karbohidrat yang merupakan kandungan penting untuk menghasilkan bioetanol. Apalagi pemanfaatannya tidak berkompetisi dengan pemenuhan kebutuhan pangan manusia.
"Kandungan karbohidrat pada mikroalga yang berkisar lima hingga 67,9 persen, dapat dikonversi menjadi glukosa dan difermentasi menjadi alkohol (etanol). Diperkirakan dapat menghasilkan bioetanol sekitar 38 persen," ungkap Luthfi Assadad, peneliti dari Balitbang Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Luthfi, salah satu penulis dalam riset mengenai pemanfaatan mikroalga sebagai bahan baku bioetanol ini, menambahkan, karbohidrat pada mikroalga berbeda-beda tergantung pada spesies dan kondisi lingkungan hidup.
Berdasarkan Journal of Chemical Technology and Biotechnology edisi 2009, spesies mikroalga yang berpotensi untuk digunakan sebagai bahan baku bioetanol adalahPrymnesium parvumChlorococum sp.Tetraselmis sueciaAnthrospira sp.Chlorella sp.
Penggunaan mikroalga sebagai bahan baku biofuel pun mempunyai beberapa keuntungan jika dibandingkan dengan tanaman pangan. Antara lain pertumbuhan yang cepat, produktivitas tinggi, memungkinkan penggunaan air tawar dan air laut, dan biaya produksi yang tidak terlalu tinggi.
Mikroalga adalah alga yang juga banyak ditemukan di air tawar. Spesies mikroalga yang uniseluler ini hidup soliter dan berkoloni. Mikroalga memiliki fungsi serupa dengan kebanyakan tumbuhan, yakni mengusir karbondioksida dari atmosfer dan menghasilkan oksigen melalui fotosintesis.
(Gloria Samantha. Sumber: ANTARA/Pelbagai sumber)

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Host